Hidup Setelah Stroke
Stroke itu kata yang lumrah di masyarakat. Maaf kalau saya salah, tapi belum tentu semua tahu sepenuhnya APA yang dialami penyintas stroke. APA yang saya maksud di sini jamak menurut saya, APA yang hanya penyintas stroke yang sepenuhnya tahu.
Pertanyaan paling sering yang saya dapatkan di bangsal perawatan adalah, “Apa saya bisa sembuh dok?”
Sampai detik ini, saya belum bisa menjawab gamblang ke mereka para penyintas, YA atau TIDAK. Penjelasan saya panjang lebar dengan menyebut segala jurnal dan penelitian. Di ujung obrolan, penyintas tidak selalu tersenyum, saya berusaha selalu tersenyum.
Selama merawat, tugas saya tidak hanya memberikan terapi medis sesuai prosedur, tetapi juga berusaha membuat penyintas bisa tersenyum lagi, berusaha membuat keluarga mereka juga tersenyum. Ini yang tidak mudah. Tidak selalu berhasil. Saya berulang kali berusaha menerka apa yang dialami para penyintas. Mulai dari kesulitan beraktivitas bagi mereka yang mengalami kelumpuhan, sampai yang paling sering dilupakan: aspek psikologis mereka.
Kadang saat saya merasa paling berguna sebagai neurologist baru di tempat dengan fasilitas yang seadanya di bangsal perawatan adalah ketika bisa sedikit meluangkan waktu mendengarkan penyintas berkeluh kesah tanpa dipotong dengan pertanyaan klasik dan generik macam, “Ada keluhan pak/bu?“. Sudah pasti mereka mengeluh. Masak nggak. Bohong. Retorika. Kadang saya merasa lebih baik memulai dengan,”..yang mau disampaikan pagi ini apa pak/bu?” atau apalah yang lebih berupa pertanyaan terbuka, membuka ruang untuk berkeluh kesah.
Kadang mereka butuh tempat curhat. Tidak semua penyintas stroke punya keluarga. Memberikan empati dan mendengarkan dengan aktif adalah salah satu yang bisa kita lakukan buat penyintas stroke disamping obat-obatan. Tenaga medis, keluarga, sahabat, teman dan kolega punya peran besar dalam memberikan keberlangsungan kesehatan mental penyintas stroke.
Menurut hemat saya, setiap penyintas stroke memiliki time span yang berbeda dalam menerima kondisi mereka. Let them heal at their own pace. Selama proses itu berlangsung, kita sebagai tenaga medis, keluarga atau teman harus selalu berusaha “mendengarkan”. Merespon tidak hanya merespon pertanyaan. Pernyataan juga sangat perlu direspon walaupun hanya dengan mengulang kembali pernyataan itu. Let them know that you know. Merespon kalimat ,”..tangan dan kaki saya sekarang sudah tidak bisa digerakkan” dengan kalimat “iya, tangan dan kakinya saat ini susah digerakkan ya..pasti sulit sekali rasanya” mungkin lebih efektif dibandingkan langsung merespon dengan kalimat, “iya, makanya sekarang minum obat rutin, biar cepat membaik dan nggak kena stroke lagi“. Tidak mudah, mungkin melelahkan, tapi hal kecil ini akan sangat berarti. Saya berpendapat, mereka sudah tahu kecacatan mereka mungkin menetap, tapi mereka tetap bertanya. Sederhana saja: harapan mereka belum mati. Setiap orang punya harapan. Saat mereka sudah menerima kondisi mereka, saat mereka tahu keluarga mereka sudah menerima, saat mereka tahu sudah memiliki support system, saat itulah terapi pencegahan sekunder stroke bisa lebih membuahkan hasil. Setiap orang ingin divalidasi. Setiap manusia ingin diakui.
Validate their complaints. Always. It helps tremendously.
Tidak setiap penyintas memperoleh efek optimal dengan terapi medis yang ada, syarat klinis yang berbeda, apalagi di tempat dengan fasilitas belum lengkap. Konseling diharapkan mampu memperingan beban penyintas. Konseling tidak hanya bisa dilakukan oleh para profesional. Keluarga dan teman juga dapat berpartisipasi memberikan “konseling” ini. Sakit tidak hanya fisik, tapi juga melibatkan psikis dan sosial. Mari kita bersama-sama berusaha membantu kesembuhan penyintas stroke baik secara fisik, psikis maupun sosial.
pertama, saya
sangat tersentuh dengan tulisan ini
kedua, banyak fakta yang saya dapat pelajari terutama kondisi psikis penyintas stroke👍